Sabtu, 22 Agustus 2015

Locus Delicti dan Tempus Delicti



Pengertian Locus delicti adalah tempat terjadinya suatu tindak pidana (delik). Sedangkan Tempus delicti adalah waktu terjadinya tindak pidana.
·         Menurut Noyon dan Langemeyer, waktu dilakukannya tindak pidana adalah waktu perbuatan dan waktu akibat, jadi boleh memilih salah satu diantaranya sesuai maksud peraturan yang akan diterapkan/ dikenakan.
·         Vos menolak pendapat tersebut dengan alasan jika waktu perbuatan dan waktu akibat perbuatan adalah tempus delicti, maka membawa konsekuensi orang dapat membunuh pada saat pembunuh sudah mati.
·         Mezger berpendapat bahwa untuk menentukan Tempus Delicti, tidak mungkin diperoleh jawaban untuk semua keperluan, tetapi haruslah dibedakan menurut maksud peraturan itu, misalnya untuk keperluan Daluarsa (Verjaring) atau Hak Penuntutan, maka tempus delicti adalah pada waktu seluruh perbuatan telah terjadi.

Apa perlunya mengetahui Locus Delicti dan Tempus Delicti ?
1.    Locus Delicti
Locus delicti perlu diketahui :
  • Untuk menentukan apakah hukum pidana Indonesia berlaku terhadap suatu tindak pidana yang terjadi atau tidak. (Pasal 2-8 KUHP)
  • Untuk menentukan Kompetensi Relatif antara Pengadilan yang berhak menangani suatu perkara.
Guna mengetahui Locus Delicti maka Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana dan Yurisprudensi mengenal 3 (tiga) Teori :
1)    Teori Perbuatan Materil
Menurut teori ini, tempat terjadinya Delik (Locus Delicti) adalah tempat dimana pembuat telah melakukan segala hal yang dapat mewujudkan delik. Penganut teori ini adalah Pompe dan Langemeyer.
2)    Teori Alat (Leer Van Het Instrument)
Menurut teori ini, tempat terjadinya Delik (Locus Delicti) adalah di tempat dimana alat yang digunakan dapat menyelesaikan delik, atau alat itu bekerja.
Hazewinkel Suringa menyatakan teori ini sangat tepat digunakan dalam menyelesaikan delik-delik pers.
3)    Teori Akibat
Menurut teori ini, delik terjadi di tempat akibat suatu perbuatan.
Menurut Simons, Strafbaarfeit terdiri atas perbuatan dan akibat (Handeling Dan Gevolg).Pendapat Simons sejalan dengan Pendapat Jonkers, Van Bemmelen, dan Van Hamel.
Selain pendapat tersebut di atas, ada pula pendapat Moeljatno yang menyatakan bahwa perbuatan terdiri atas kelakuan dan akibat, karenanya tempat perbuatan adalah tempat kelakuan dan akibat, jadi boleh pilih tempat dimulainya kelakuan sampai berakhirnya akibat.
Dalam menggunakan teori-teori tersebut Hazewinkel Zuringan berpendapat bahwa teori tersebut harus diberlakukan sama dan kita harus memilih salah satu diantaranya dengan menyesuaikan hal konkrit dari peristiwa yang dihadapi.

2.    Tempus Delicti
Tempus Delicti itu penting sehubungan dengan :
  1. Apakah hukum pidana Indonesia berlaku terhadap tindak pidana yang terjadi saat itu. (Pasal 1 KUHP)
  2. Apakah perbuatan itu sudah dilarang dan diancam pidana dalam Undang-Undang sebelum perbuatan dilakukan (Pasal 2 KUHP)
  3. Apakah terdakwa pada saat melakukan tindak pidana telah mampu bertanggungjawab. (Pasal 44 KUHP)
  4.  Apakah terdakwa pada saat melakukan tindak pidana telah berumur 16 tahun (Pasal 45 KUHP), bila belum maka boleh memilih 3 kemungkinan :a) mengembalikan kepada orang tua tanpa member hukuman; b) menyerahkan anak tersebut kepada Pemerintah untuk dimasukkan ke dalam pendidikan; dan c) menjatuhkan pidana seperti orang dewasa maksimum dari pidana pokok dikurangi sepertiga. (Pasal 47 KUHP)
  5. Masalah Daluarsa (Verjaring) dihitung pada saat perbuatan terjadi (Pasal 78 dan 79 KUHP)

Jumat, 21 Agustus 2015

PENTINGNYA DOMISILI TERHADAP SUBJEK HUKUM, TERUTAMA DALAM MELAKUKAN PERBUATAN HUKUM


      Domisili merupakan  terjemahan dari domicile atau woonplaats yang artinya tempat tinggal. Domisili atau  tempat tinggal (menurut pasal 17 KUH.Perdata) adalah tempat seseorang dianggap selalu hadir melakukan hak-haknya dan memenuhi kewajibannya, meskipun ia bertempat tinggal di tempat lain. Menurut kitab Undang-Undang Hukum Perdata, tempat kediaman itu seringkali ialah rumahnya, kadang-kadang kotanya. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa setiap orang dianggap selalu mempunyai tempat tinggal di mana ia sehari-harinya melakukan kegiatannya atau di mana ia berkediaman pokok.
Kadang-kadang menetapkan tempat kediaman seseorang itu sulit, karena selalu berpindah-pindah. Untuk memudahkan hal tersebut, dibedakan antara tempat kediaman hukum (secara yuridis) dan tempat kediaman yang sesungguhnya. Tempat kediaman hukum adalah tempat dimana seseorang dianggap selalu hadir berhubungan dengan hal melakukan hak-haknya serta kewajiban-kewajibannya, meskipun sesungguhnya mungkin ia bertempat tinggal di lain tempat.
Di dalam hukum perdata, istilah "orang" atau "persoon" menunjuk pada pengertian subyek hukum yang artinya pemangku hak dan kewajiban.  Subyek hukum terdiri dari:
1. Manusia (natuurlijk persoon)
2. Badan Hukum (recht persoon)
Manusia sebagai pembawa hak dan kewajiban terjadi sejak lahir dan berakhir setelah ia meniggal dunia. Tetapi bila perlu demi kepentingannya sejak ia masih berada dalam kandungan ibunya, asalkan ia lahir hidup, ia dapat dianggap sudah sebagai subyek hukum (Pasal 2 ayat 1 BW). Tetapi apabila ia lahir dalam keadaan meninggal, ia dianggap tidak pernah ada (Pasal 2 ayat 2 BW). Ketentuan yang termuat dalam pasal 2 BW tersebut dinamakan recht fictie. Ketentuan ini sangat penting dalam hal warisan.
Badan hukum yang berstatus sebagai pembawa hak dan kewajiban ( subyek hukum), misalnya negara, propinsi, kabupaten, pereroan terbatas, yayasan, wakaf, gereja, dan lain sebagainya.
Orang dan badan hukum sebagai subyek hukum dapat melakukan perbuatan hukum sebagai pelaksanaan hak dan kewajiban. Dalam melaksanakan perbuatan hukum, badan hukum diwakili oleh para pengurusnya. Orang untuk dapat melakukan perbuatan hukum harus sudah dewasa (menurut BW harus sudah berumur 21 tahun) atau sudah kawin sebelum umur tersebut. Batas usia dewasa menurut undang-undang No. 1 tahun 1974 dan yurisprudensi Mahkamah Agung (MA) adalah 18 tahun. Orang yang sudah dewasa berarti oleh hukum dianggap sudah dewasa untuk melakukan perbuatan hukum untuk bertindak sendiri. orang yang belum dewasa, orang yang ditaruh dalam pengampuan/pengawasan (curatele) oleh hukum dinyatakan sebagai orang yang "tidak cakap" untuk melakukan sendiri perbuatan-perbuatan hukum. Perbuatan hukum bagi kepentingan mereka itu harus dilakukan oleh wali kuratornya.
Perbuatan-perbuatan hukum yang dapat dilakukan oleh orang atau badan hukum sebagai subyek hukum, misalnya:
a. mengadakan perjanjian jual beli tanah,
b. mengadakan perjanjian sewa menyewa rumah,
c. mengadakan perjanjian pinjam meminjam uang atau barang,
d. mengadakan perjanjian kerja, dll.
Setiap orang menurut hukum harus mempunyai tempat tinggal atau domisili, begitu pula bagi badan hukum.  Arti pentingnya domisili bagi orang atau badan hukum ialah untuk urusan-urusan tertentu misalnya:
1)    Di wilayah hukum mana perkawinan harus dilakukan bila seseorang hendak menikah.
Psl 3 PP no. 9/1975– orang yang akan melangsungkan perkawinan, memberitahukan kehendaknya kepada Pegawai Pencatat setempat.
2)    Dimana seseorang atau badan hukum itu harus dipanggil oleh pengadilan.
3)    Pengadilan mana yang berwenang untuk menyelesaikan perkara yang melibatkan orang atau badan hukum itu.
4)    Tempat mengikuti Pemilu.  
5)    Tempat dilaksanakannya pembagian warisan yang ditinggalkan oleh orang yang bersangkutan dimana ia tinggal sampai ia meninggal dunia.
Domisili seseorang biasanya di tempat tinggal pokoknya. Badan hukum biasanya di kantor pusat badan hukum itu berada. Namun demikian, kadang-kadang orang atau badan hukum memilih tempat tertentu sebagai domisilinya bila diperlukan. Domisili yang dipilih misalnya kantor notaris atau di kantor kepaniteraan pengadilan tertentu. Kecuali domisili juga ada istilah "rumah kematian" yang artinya adalah sebagai domisli terakhir. Arti pentingnya rumah kematian atau domisili kematian adalah untuk menentukan hukum mana yang berlaku untuk mengatur warisan orang meninggal, hakim mana yang berwenang mengadili perkara tentang warisan itu, dan untuk menentukan peraturan yang memperkenankan orang-orang yang berpiutang untuk menggugat seluruh ahli waris yang bertempat tinggal di rumah kematian itu dalam waktu 6 bulan setelah meninggalnya orang itu. 

AJARAN CAUSALITAS



Causalitas berasal dari kata causa yang artinya sebab.
Tiap-tiap peristiwa yang terjadi tentu ada sebabnya, peristiwa yang satu menjadi akibat peristiwa yang lain, atau dengan kata lain peristiwa yang satu dapat menimbulkan beberapa peristiwa yang lain. Keadaan sebab menyebab diantara peristiwa itu disebut Causalitas.

Untuk memahami Ajaran Causalitas yang dikemukakan oleh Para Ahli, dapat kita lihat pada contoh kasus di bawah ini :
1.    (A) meminjam senjata api/pistol kepada (B),
2.    (B) kemudian menyuruh (C) untuk melakukan pembunuhan kepada (D) dengan ancaman apabila (C) tidak mau maka (B) akan membunuhnya,
3.    Selanjutnya (C) melakukan Penembakan kepada diri (D) namun pada saat itu (D) tidak meninggal dunia,
4.    (D) kemudian diantar ke rumah sakit dengan mobil Ambulance yang dikemudikan oleh (E),
5.    Dalam perjalanan menuju rumah sakit, mobil Ambulance tersebut di tabrak oleh mobil truk yang dikemudikan oleh (F) sehingga bertambah para luka-luka (D),
6.    Setiba di rumah sakit (D) langsung di rawat oleh Dokter (G) dan melakukan tindakan medik menyuntik Pasien (D) dengan obat dosis tinggi,
7.    Tidak lama setelah dirawat dan disuntik oleh Dokter (G), Pasien (D) meninggal dunia.

TINDAKAN SIAPAKAH YANG DAPAT DIANGGAP SEBAGAI CAUSA/PENYEBAB KEMATIAN SI (D)?????

Ada beberapa Teori Causalitas yang dapat digunakan untuk menjawab pertanyaan tersebut.

1.    Von Buri dengan Teori Conditio Sine Qua Non, menyatakan “tiap-tiap perbuatan dijadikan sebab dari akibat yang dilarang dalam undang-undang, dan rangkaian perbuatan sama artinya dan tidak terlepas dari yang menimbulkan akibat.
Jika (A) tidak meminjamkan Pistol kepada (B), maka (B) tidak akan menyuruh (C) untuk membunuh/menembak (D)……..dst yang menyebabkan kematian (D).
2.    Simons suatu perbuatan hanya dapat dianggap sebagai sebab, dari suatu akibat menurut Pengalaman Manusia yang normal dengan melihat keadaan yang meliputi perbuatan yang dapat menimbulkan akibat.
Misalnya dengan suntikan yang keliru dari Dokter (G)  tentu menyebabkan kematian pasien (D).
3.    Treger Teori Causalitas, menyatakan “bahwa tidak setiap perbuatan dapat  menjadi SEBAB dari akibat yang dilarang dalam undang-undang. Perbuatan itu harus diuji dan hanya perbuatan yang mempunyai pengaruh  terbesar atas timbulnya akibat dapat dianggap sebagai sebab.dari akibat
(Teori ini yang biasa digunakan dalam Pelanggaran Hukum Pidana Indonesia)